Memang, keberhasilan pencapaian perdamaian di Aceh memberikan sinyal bahwa dengan pendekatan win-win solution dan asas saling menghormati antara pemerintah Indonesia dan kaum separatis, konflik bersenjata yang berkepanjangan pada akhirnya bisa diselesaikan. Namun, pola tersebut tak bisa diterapkan dengan sederhana untuk mencapai perdamaian di daerah konflik bersenjata lainnya, termasuk juga untuk mengatasi konflik di Papua.
Gerakan separatisme di Papua (Organisasi Papua Merdeka/OPM) sepuluh tahun lebih tua dari gerakan separatisme di Aceh (Gerakan Aceh Merdeka/GAM). OPM dibentuk tahun 1965, sedangkan GAM tahun 1976. Namun, ketika konflik Aceh sudah selesai, konflik di Papua masih sering timbul. Padahal pemerintah, dalam hal ini TNI, juga melakukan penanganan yang sama dengan mengirimkan tentara untuk menghadapi kelompok bersenjata. Hanya saja, dilihat dari segi hukum internasional, gerakan separatisme di Aceh dan gerakan separatisme di Papua sangat berbeda. Di Aceh jelas pemimpinnya, jelas wilayah yang dikuasai kaum separatis, dan jelas pula intensitas serangan-serangannya. Sementara di Papua, meski ada pemimpinnya, tetapi pemimpinnya banyak karena ada beberapa kelompok gerakan bersenjata yang satu sama lain tidak ada saling keterkaitan.
Ditinjau dari hukum internasional, untuk mengatasi kelompok bersenjata di Papua, selayaknya tidak dilakukan dengan mengirimkan pasukan TNI. Akan tetapi, sangat disayangkan, TNI, berbekal Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia “melegitimasi” dirinya untuk mengirimkan pasukannya ke sana.
Ketidaksesuaian ini menimbulkan tanggapan yang berbeda dari kacamata dunia. Pengiriman tentara tersebut bertentangan dengan hukum internasional dan efeknya menimbulkan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Papua. Masalah pelanggaran inilah yang belakangan menjadi sorotan. Setiap kali terjadi kontak bersenjata antara kelompok bersenjata di Papua dan pasukan TNI, dunia segera “menjeratnya” dengan pasal-pasal HAM. Pasal-pasal pelanggaran HAM ini hanya diterapkan untuk tentara yang terlibat dalam konflik tersebut, tetapi tidak untuk anggota kelompok bersenjata yang terlibat.
Buku ini merupakan hasil kajian ilmiah yang telah melewati proses pengujian di hadapan forum akademis. Dalam buku ini dijelaskan, jika negara (dalam hal ini TNI) melakukan pelanggaran HAM, Papua justru bisa lepas dari NKRI. Berbagai contoh fenomena diluar negeri dijadikan referensi penguatan terhadap argumentasi yang digunakan oleh Penulis.
Buku ini layak dibaca oleh sejumlah kalangan. Diantaranya:
- TNI / Polri, baik aktif maupun purnawirawan
- Pejabat di Pemerintahan (Polhukam, Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian dalam Negeri dan Luar negeri)
- Pemerintahan Lokal (Provinsi dan kabupaten/Kota) Papua
- Kalangan Kampus (Dosen, Mahasiswa, Peneliti dari jenjang S1 – S3) dari Fakultas Hukum, Fakutas Sospol (Hubungan Internasional & Politik), Sejarah, dll.
- Aktivis (LSM, Komnas HAM, dan penggiat Perdamaian dan Resolusi Konflik)
- Dan lain-lain.
Laksda TNI (Purn) Soleman B. Ponto, S.T., M.H. lahir di Sangir–Tahuna, Sulawesi Utara, 6 November 1955. Mengenyam pendidikan TNI di Akabri AL/1978, kariernya di Angkatan Laut diawali sebagai pelaut. Ia melewati sejumlah pos, hingga akhirnya “tercebur” di dunia intelijen TNI pada Badan Intelijen Strategis (BAIS) TNI sejak tahun 1996 hingga akhirnya menjadi Kepala BAIS pada periode 2011-2013.
Pada penugasan di BAIS Ia banyak berinteraksi dengan tema, organisasidan penggiat HAM. Dari sana muncul kesadaran bahwa Indonesia, termasuk TNI tidak bisa terlepas dari pengaruh dunia dan hukum internasional, dimana Hukum Humaniter dan Hukum HAM termasuk didalamnya. Berangkat dari situlah, Ia mengikuti pendidikan magister hukum dengan mengambil tesis tentang Operasi Militer TNI dan Gerakan Separatisme Bersenjata di Indonesia.