Bagi korban, situasinya sering kali menjadi dilema. Selain mendapat ancaman dari pelaku, ketika pelaku tertangkap dan terancam penjara, korban justru luluh hatinya dan meminta pelaku untuk tidak dipenjara karena mereka adalah kerabat dekat atau anggota keluarga yang merupakan penanggung ekonomi keluarga. Jika mereka dipenjara, keluarga ikut merana. Akibatnya kasus pun ditutup. Padahal derita yang harus ditanggungnya sangat berat.
Adakalanya korban yang masih amat belia itu hamil, lalu dengan polosnya mengaborsinya karena dirundung malu dan tekanan sosial yang dahsyat. Akibatnya mereka masuk penjara karena kasus aborsinya. Padahal ada UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang menjamin mereka bahwa terhadap kasus perkosaan yang hamil ada pasal yang membolehkan korban melakukan aborsi dengan persyaratan tertentu sehingga korban tidak perlu mengalami keadaan “Sudah jatuh tertimpa tangga.”
Memang pada kenyataannya ada beberapa kasus korban perkosaan yang justru dipenjara karena melakukan aborsi. Walhasil, bagi korban, ketika perkosaan terjadi, mereka benar-benar dijerumuskan pada situasi yang membuatnya amat nista: masa depan habis, trauma seumur hidup yang tak tertangani, kehidupan sosial yang nestapa.
Kekerasan seksual hanyalah salah satu bentuk kekerasan yang dialami perempuan. Saat ini ada beberapa jenis kekerasan yang dialami perempuan. Di antaranya adalah bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang makin menjadi sorotan di Tanah Air. Bentuk KDRT meliputi kekerasan fisik, kekerasan seksual, kekerasan psikis, dan kekerasan ekonomi. Korbannya bisa istri, anak, atau kerabat yang tinggal di rumah tangga. Pelakunya adalah orang-orang yang tinggal di rumah tangga itu atau pihak lain yang memiliki akses sering masuk ke rumah tangga tersebut. Karena itu pelakunya bisa ayah (suami), saudara kandung, keluarga dari ayah atau ibu (seperti paman), atau lainnya.
Ini belum kasus-kasus kekerasan yang dialami perempuan di ranah publik, termasuk juga pelecehan atau kekerasan di tempat mereka bekerja. Meskipun begitu, jika terjadi kekerasan, tak banyak korban yang berani melaporkan kasusnya karena banyak pertimbangan.
Di antara alasan yang paling umum yang membuat korban tak melaporkan kasusnya adalah karena:
− Banyak perempuan korban pemerkosaan selalu disalahkan.
− Banyak korban pemerkosaan yang berpikir, daripada dilaporkan tapi jadi aib, mending bungkam menanggung malu.
− Perspektif aparat penegak hukum masih bias gender. Aduan korban sering dianggap sebelah mata.
− Korban pemerkosaan justru kerap dikorbankan kembali oleh penegak hukum.
− Faktanya, banyak proses hukum berhenti di tengah jalan, sehingga predator leluasa mencari mangsa.
− Korban takut bentuk kekerasan yang dialaminya tak dikenal dalam KUHP.
− Proses hukum yang setengah-setengah hanya membuat korban menanggung malu karena sudah telanjur disorot media.
Hambatan ini menyisakan pertanyaan tajam: Adakah sistem yang bisa menyelamatkan para perempuan korban kekerasan, setidaknya untuk membuat mereka menjadi “manusia” kembali?
Buku ini membahas salah satu inovasi dalam penanganan perempuan korban kekerasan seksual baik anak-anak maupun perempuan dewasa dengan membangun fasilitas penanganan bernama Forensik Klinik (Forklin) yang diharapkan kelak bisa diterapkan di jaringan rumah sakit Bhayangkara yang merupakan jaringan rumah sakit di bawah naungan Kepolisian Republik Indonesia. Forklin menawarkan solusi penanganan korban yang terintegrasi (kesehatan, psikologis, hukum, dan sosial). Melalui Forklin korban yang sering kali “dikorbankan” akan mendapatkan haknya untuk sembuh secara fisik dan psikis (trauma), kasusnya ditangani pihak yang berwajib dan pelaku diproses secara hukum, mendapatkan hak untuk melanjutkan pendidikan (bagi korban yang masih sekolah), dan mereka tidak tereksploitasi jati dirinya di media (tidak over exposed).
Buku ini juga membahas tren kekerasan yang dialami perempuan baik di Indonesia maupun di dunia dalam beragam bidang kehidupan, termasuk juga tren ketika perempuan dieksploitasi karena mereka adalah perempuan. Maraknya aksi pembunuhan “khusus” perempuan yang makin mengkhawatirkan, sampai-sampai PBB mengeluarkan istilah baru “femisida”. Statistik femisida terus meningkat dan memicu kajian-kajian mendalam di berbagai negara. Selain itu ada juga kasus perempuan yang menjadi “korban zaman”. Di antaranya perempuan yang terlibat terorisme hingga perempuan-perempuan yang jadi pembunuh karena korban hedonisme.
Hal-hal inilah yang dibahas di buku ini, yang ditulis oleh seorang doktor ahli forensik. Buku ini tidak hanya membuka cakrawala baru penanganan korban kekerasan seksual perempuan dan anak, juga membuka wawasan tentang perempuan sebagai korban ditinjau dari sejumlah aspek.
KATA MEREKA
KBP Dr. dr. Sumy Hastry Purwanti, DFM, Sp.F. berprofesi sebagai Polwan yang berkecimpung di dunia forensik sekaligus juga sebagai seorang ibu, tentunya memiliki kepekaan yang lebih dalam melihat perempuan sebagai korban kekerasan seksual dibandingkan Polki pada umumnya. Pola penanganan yang digagasnya dengan membangun Forensik Klinik (Forklin) menunjukkan kepekaannya terhadap isu kekerasan ini.
Ny. Juliati Sigit Prabowo
Ibu Asuh Polwan RI
Hadirnya buku ini makin menegaskan bahwa peran Polwan RI bukan hanya sebagai penghias dan pelengkap organisasi. Polwan mampu memberikan kontribusi yang dapat membawa nama baik organisasi Polri dalam melayani masyarakat.
Brigjen (Pol) Apriastini Baktibugiansri K., S.I.K.
Kapusjarah Polri selaku Pakor Polwan RI
Ibu Pertiwi membutuhkan perempuan tangguh untuk “menelurkan” generasi pewaris bangsa yang bermartabat. Korban kekerasan harus bangkit dan tidak terpuruk. Semoga, melalui buku ini, semangat kepedulian akan nasib bangsa makin berkibar, dan perempuan sebagai tiang negara dapat terwujud.
Dra. Ardina Safitri Firli
Ketua Ikatan Alumni Bimbingan Konseling UNNES
Unit Forensik Klinik di RS Bhayangkara Semarang, yang dirancang secara komprehensif bagi perempuan dan anak korban kekerasan seksual, penting untuk selalu beroperasi maksimal. LPSK, lembaga negara yang berwenang memberi perlindungan terhadap saksi dan korban tindak pidana, termasuk kekerasan seksual, siap bekerja sama untuk wilayah Jateng.
Dr. Livia Istania DF Iskandar, M.Sc., Psikolog
Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban RI
(Periode 2019-2024)
Perempuan yang seyogianya ditinggikan martabatnya terkadang kurang beruntung dan mendapatkan tindakan kekerasan. Bungkam seribu bahasa sering menjadi pilihannya sehingga para korban kekerasan sering menghadapi masalah baru yang membahayakan dirinya. Buku ini merupakan solusi integratif dari berbagai aspek, penindakan, medis, psikologi, budaya, dan lain-lain.
Ir. Ambar Rahayu, MNS
Widyaiswara Ahli Utama Lembaga Administrasi Negara (LAN)
UU Kesehatan 2009 secara khusus mengatur tentang praktik aborsi dan, menurut UU tersebut, aborsi dilarang untuk dilakukan. Namun, hal itu dapat dikecualikan berdasarkan indikasi kedaruratan medis dan kehamilan akibat perkosaan yang menyebabkan trauma bagi korban. Buku ini dapat menjadi rujukan untuk pemberian layanan kesehatan yang komprehensif bagi para penyintas kekerasan seksual.
dr. Marcia Soumokil, MPH
Direktur Eksekutif, Yayasan IPAS Indonesia
Komisaris Besar Polisi (KBP) Dr. dr. Sumy Hastry Purwanti, DFM, Sp.F. lahir di Jakarta, 23 Agustus 1970. Ia menjalani pendidikan dasarnya di Jakarta, dilanjutkan dengan pendidikan kedokteran di Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro (Undip), Semarang, dan lulus pada 1997. Lulus S1, ia lalu mengikuti Sekolah Perwira Prajurit Karier (SEPA PK) Polri dan lulus tahun 1998. Saat itu pangkatnya Inspektur Polisi Dua (Ipda), kemudian naik menjadi Inspektur Polisi Satu (Iptu) pada tahun 1999, dan menjadi Ajun Komisaris Polisi (AKP) pada tahun 2020.
Di tengah kesibukannya menjalankan tugas di kepolisian, ia terus melanjutkan pendidikannya. Pada periode 2002–2005 ia menempuh pendidikan S2 bidang studi kedokteran forensik di Universitas Diponegoro. Kemudian ia mengambil Program Studi Ilmu Kedokteran Jenjang Doktor (S3) di Universitas Airlangga, Surabaya, dan lulus pada tahun 2016 dengan predikat cumlaude.
Kariernya sendiri cukup melesat. Pada tahun 1999 menjadi Pasi Polipol Dis Dokkes Polda Jateng. Lalu menjadi pama Biddokkes Polda Jateng (2003), Kaur Dokkes Polwiltabes Semarang (2008), Pamen Polda Jateng (2010), menjadi Staf Medik Fungsional (SMF) RS Bhayangkara TK III Semarang (2010), Kaur Doksik Subbid Dokpol Bid Dokkes Polda Jateng (2011), Kasubbid Dokpol Bid Dokkes Polda Jateng (2012), Kabiddokkes Polda NTB (2017), Kasubidoksik Yan Dokpol RS Said Sukanto (2018), Ahli Utama RS Said Sukanto (2018), Ka Instalasi Forensik RS Said Sukanto (2019), Kepala Rumah Sakit Bhayangkara Prof. Awaloeddin Djamin Semarang (2020), dan menjadi Kepala Bidang Kedokteran dan Kesehatan (Biddokkes) Polda Jawa Tengah sejak 1 Juni 2021.
Ia berpengalaman dalam bidang Disaster Victim Investigation (DVI). Dimulai tahun 2002 ketika masuk Tim DVI korban Bom Bali I 2002. Lalu, Tim DVI jatuhnya pesawat Lion Air di Solo tahun 2004, korban Bom Kedubes Australia di Jakarta tahun 2004, korban jatuhnya pesawat Mandala di Medan tahun 2005, korban Bom Bali II tahun 2005, mengidentifikasi teroris Wonosobo 2006, korban gempa bumi Yogyakarta tahun 2006, korban kapal KM Senopati Nusantara 2006, menangani korban jatuhnya pesawat Garuda di Yogyakarta tahun 2007, jatuhnya pesawat Casa 212 TNI AU di Bogor pada tahun 2008, jatuhnya pesawat Hercules TNI AU di Madiun tahun 2009, korban Bom Hotel JW Marriott Kuningan Jakarta tahun 2009, korban jatuhnya pesawat Sukhoi SSJ di Gunung Salak Bogor 2012, korban jatuhnya pesawat Air Asia 2015, hingga Tim DVI jatuhnya pesawat Sriwijaya Air SJ 182 pada 9 Januari 2021 di sekitar Kepulauan Seribu, Jakarta.
Selain buku ini, ia telah menulis beberapa buku, yaitu Dari Bom Bali hingga Tragedi Sukhoi – Keberhasilan DVI Indonesia dalam Mengungkap Berbagai Kasus (2013), Ilmu Kedokteran Forensik untuk Kepentingan Penyidikan (2014), Mengenal DNA (2016), Kekerasan pada Anak & Wanita: Perspektif Ilmu Kedokteran Forensik (2017), dan menjadi salah satu penulis dalam buku bunga rampai Polwan untuk Negeri (2020).