Dalam episode ini, keluarga Kam (keluarga Suling Emas) akan memulai kiprahnya sebagai protagonis utama.
Suling emas sendiri merupakan senjata sakti yang pertama kali dimunculkan dalam serial ini. Terbuat dari emas murni dan dibuat dengan menggunakan teknik khusus sehingga mampu menandingi senjata tajam sekalipun. Fungsinya semakin komplit setelah Bu Kek Sian Su menciptakan ilmu-ilmu yang khusus dipadukan dengan suling sehingga senjata ini bahkan lebih menakutkan daripada senjata yang mengandalkan ketajaman.
Episode Suling Emas mengisahkan tentang murid dari Bu Kek Sian Su (manusia setengah dewa) yang dijuluki Kim-mo Eng (Setan Berhati Emas). Julukan ini memang sesuai dengan watak Kim Mo Eng yang memiliki nama asli Kwee Seng. Dia memiliki gerakan silat seperti setan dan memiliki hati seperti emas karena suka menolong yang lemah. Ilmu silat yang dia pelajari dan telah disempurnakan oleh Bu Kek Sian Su adalah ilmu silat dengan menggunakan senjata dari suling dan kipas. Kim-mo Eng jatuh cinta pada seorang gadis yang bernama Liu Lu Sian, tetapi cintanya ini bertepuk sebelah tangan sehingga membuat dirinya kecewa. Kim-mo Eng memiliki seorang murid yang bernama Kam Bu Song, yang merupakan anak dari Liu Lu Sian. Kam Bu Song inilah yang akhirnya memiliki julukan Suling Emas. Dia memiliki seluruh ilmu Kim-mo Eng, dan mendapatkan beberapa petunjuk ilmu silat dari Bu Kek Sian Su. Episode ini juga menceritakan sepak terjang Kim-mo Eng dan muridnya Suling Emas dalam memberantas kejahatan.
Kho Ping Hoo or Asmaraman Sukowati Kho Ping Hoo (born in Sragen, 17 August 1926 - died in Solo, 22 July 1994, Chinese: 許平和; pinyin: Xǔ Pínghé) is an Indonesian author of Chinese ethnicity. He is well known in Indonesia for his martial art fiction set in the background of China or Java. During his 30 years career, at least 120 stories has been published.
Despite the fact that most of his stories were based on Chinese martial art genre, Kho Ping Hoo never actually learned Chinese. He had his inspirations from Hong Kong and Taiwan kung fu films. He made a significant contributions to Indonesian colloquial literature. The novels also introduce many Chinese terms in Hokkien dialects to Indonesian terms.
Because of his illiteracy in Chinese languages, his writings contain various errors regarding historical and geographical reality of China. However, the inaccuracies does not affect the popularity of Kho Ping Hoo. The novels themselves never reached China or the wider Chinese speaking population.
On 14th of December one of his most famous stories "bukek siansu" - the golden flute - finally arrived in China introduced by Ambassador Imron Cotan, Indonesian Ambassador to the People's Republic of China. The Chinese version of the book was launched by Ambassador Cotan together with Mr. Ma Minqiang, Secretary-General of Asean-China Center at Grand Millennium Hotel, Beijing.