Pada rasa yang kau kenalkan, kuletakkan pada ubun lampau, kulambai jadi kenang dalam relung. Tidak, sama sekali tak kusesali pertemuan kita. Sebab yang kupercaya, sesuatu terjadi karena suatu alasan. Meski belum kutahu, entah disudut takdir mana, alasan itu akan menghampiriku, menjelaskanku dengan detail perihal lampau yang pernah jadi kita.Pada rasa yang kau kenalkan, pada pilihan yang katanggalkan, bukan tanpa sebab, bukan pula butuh ulasan. Tapi kuubah haluanku seperti embusan angin yang mengikuti perintah-Nya.Mengikuti-Nya tanpa tapi, tanpa nanti, sebelum matiKuingini rasa yang hadir tetap fitrah, sebagaimana ia hadir sebagai fitrah dari-Nya. Tuhan Maha Pemurah. Dengan segala kesalahan terdahulu, tetap memberi waktu untuk bersimpuh, yang kusebut kita dalam jedaMaka akan salah jika kita tak berlutut meminta ampun.
Senja melambai rindu, sebab turut kutanggalkan Malam-Nya berlari mendekat dengan senyum menari manja Kuletakkan kata peluh yang menyimpul pilu pada bibirTak ada lagi rindu menggebu, saat diri tak bertemu. Semuanya telah berpasrah, pada sebaik-baiknya pemberi rasa-penulis kisah.
Dardawirdhaa, gadis kelahiran Ujung Pandang, 23 Mei 1995 yang mengaku full time writer setelah berhasil menaklukkan skripsi. Maniak tulip putih yang sesekali makan cokelat putih. Jeda merupakan buku solo kedua setelah Senandung Rasa (novel, 2016) dan buku ke-7 yang diterbitkannya secara kolektif, Jempol Merah (cerpen, 2015), Diary 7 Kurcaci (senandika, 2017), Jodoh Untuk Langit (cerpen, 2017), Cerita 7 Kurcaci (cerpen, 2018) dan Subuh Untuk Langit (cerpen dan prosa, 2018).