Secara empiris-sufistik, Nabi Adam merupakan kaca semesta pertama yang dipakai oleh Allah SWT untuk bercermin memandang diriNya sendiri secara lebih gamblang dan transparan. Saya menggunakan terminologi “empiris-sufistik” dengan alasan yang jelas bahwa jika ditinjau dengan paradigma spiritual secara murni, maka makhluk yang pertama kali diciptakan adalah Nur Muhammad atau al-Haqiqah al-Muhammadiyyah yang darinya kemudian dimunculkan seluruh makhluk.
Dengan demikian, posisi Nabi Adam dengan seluruh anak-cucu keturunannya yang beriman dan secara estafet senantiasa berpegang teguh terhadap spiritualitas asal-usul manusia itu, mereka tidak lain merupakan ruh bagi alam semesta. Tanpa kehadiran mereka, semesta raya ini hanyalah semata jasad, tidak ada bayang-bayang kehadiran Tuhan yang begitu transparan di situ.
Sesungguhnya, apa makna kehendak Allah SWT dengan menciptakan alam semesta yang lengkap dengan ruhnya ini? Sepotong hadis qudsi memberikan suatu jawaban: “Kuntu kanzan makhfiyyan, fa uhibbu an u'raf, fa lidzalika khalaqtul 'alam/ Aku adalah tambang kekayaan yang tersembunyi. Aku cinta untuk dikenal. Karena itulah Aku menciptakan alam.”
Betapa beruntung orang yang dianugerahi kesanggupan untuk menjadikan dirinya sebagai cermin bening bagi Allah SWT yang diletakkan persis di hadapanNya.