Untuk memaknai sekolah inklusi diperlukan pemahaman dasar tentang peserta didik di sekolah tersebut, yang sebagiannya disebut dengan peserta didik difabel atau sering dikenal pula dengan istilah “Anak Berkebutuhan Khusus (ABK)” (children with special needs). Peserta didik ABK adalah seseorang yang secara signifikan mengalami kelainan atau penyimpangan (fisik, mental, intelektual, sosial, dan emosional) dalam proses pertumbuhan dan perkembangannya dibandingkan dengan orang lain yang seusia, sehingga memerlukan pelayanan pendidikan khusus. Atau seseorang yang berbeda dari rata-rata umumnya, disebabkan ada permasalahan dalam kemampuan berpikir, penglihatan, pendengaran, sosialisasi, dan gerak.
Konsep ABK memiliki makna dan spektrum yang lebih luas dibandingkan dengan konsep anak luar biasa (exceptional children). Dalam bidang pendidikan penyandang ABK memerlukan layanan yang spesifik karena memiliki hambatan belajar dan perkembangan (barier to learning and development), seperti: tunanetra, tunarungu, tunawicara, tunagrahita, tunadaksa, tunalaras, sehingga mereka mencapai akselerasi sebagaimana peserta didik normal dalam belajarnya; termasuk dalam mengendalikan emosi dan kontrol sosial. Individu tunalaras biasanya menunjukkan perilaku menyimpang yang tidak sesuai dengan norma dan aturan yang berlaku di sekitarnya. Sebagian fungsi fisik, psikis, kognitif, atau sosialnya terhambat dalam mencapai aktualisasi potensinya secara maksimal.