درباره این ای-کتاب
Aku menggelengkan kepala.
“Aduh, kalau tidak bisa bertani, ya tidak bisa jadi mantu kami.”
Deg!
Jantungku berdetak kencang mendengar penuturan dari ibunya Dimas.
Tidak bisa bertani, tidak bisa jadi mantu. Itu artinya, aku ditolak jadi bagian keluarga mereka.
Aku semakin menunduk dalam seraya meremas jari-jari tanganku. Sungguh, aku tidak pernah membayangkan hal ini sebelumnya.
Dimas bilang, ibunya baik dan sangat menerima apa adanya diriku. Tapi, coba lihat sekarang. Dia bahkan terang-terangan mengatakan tidak bisa menjadikanku menantu.
“Terus, di rumah kamu ngapain saja?” tanyanya lagi.
Aku menarik napas dalam, menghilangkan rasa sakit yang sudah menyerang.
“Beres-beres rumah, sama ... jagain warung, Bu,” ucapku pelan.
“Gitu doang? Cucu saya yang umur sembilan tahun, juga bisa. Kita ini hidup di kampung, dilingkungan pesawahan. Sudah sepantasnya dan sewajarnya sebagai perempuan dewasa, harus bisa ke sawah. Minimal nanem padi, atau panen padi. Bukan hanya bisa ngejehor di rumah. Gak guna.”
Jantungku kembali berdenyut mendengar ucapan ibunya Dimas. Baru juga dikenalkan, aku sudah kesakitan seperti ini.
Apa kabar jika nanti aku jadi menantu? Sepertinya aku memang tidak cocok berada dalam lingkungan keluarga ini. Aku menyerah!
“Keluarga kami ini, keluarga petani yang memiliki banyak sawah dan kebun. Apa kata saudara-saudara saya, kalau dapat mantu modelnya kayak kamu begini? Yang Cuma bisa makan nasi, tanpa tahu gimana proses bagaimana sulitnya kami merawat padi dari bayi, hingga menjadi nasi,” tutur ibunya Dimas lagi dengan mata dan bibir yang bergoyang ke sana kemari.
Aku meneguk ludah dengan sangat susah payah. Di sini memang akulah yang bersalah. Aku tidak bercermin terlebih dahulu sebelum menerima cinta seorang pria yang ternyata anak orang kaya.
Bagaimana kisah selanjutnya?
