Pada pusara sang ayahanda, Tasaro memutar ulang memorinya. Betapa berjaraknya hubungan yang mereka jalin selama ini. Ia mengingat bahwa tak banyak percakapan yang mereka lakukan demi merekatkan hubungan.
Melalui buku ini, Tasaro menuliskan surat panjang kepada Bapak. Ia mencoba menceritakan kembali perjalanannya ke Tanah Suci, tempat yang paling ingin didatangi Bapak sepanjang hidupnya. Sebuah perjalanan menggetarkan yang membuatnya menyusuri setiap jengkal tanah yang 1.400 tahun sebelumnya, Rasulullah Saw. membangun sejarah di sana.
Tanpa diduga, menuliskan surat tersebut mengantar Tasaro kembali pada kenangan-kenangan yang nyaris ia lewatkan. Bahwa sesungguhnya Bapak selalu membersamainya pada berbagai peristiwa, meski tanpa kata-kata ....
[Mizan, Bentang Pustaka, Novel, Islami, Kisah, Kenangan, Tanah Suci, Dewasa, Indonesia]
Tasaro (akronim dari namanya, Taufik Saptoto Rohadi, belakangan menambahkan "GK", singkatan dari Gunung Kidul, pada pen-name nya) adalah lulusan jurusan Jurnalistik PPKP UNY, Yogyakarta, berkarier sebagai wartawan Jawa Pos Grup selama lima tahun (2000-2003 di Radar Bogor, 2003-2005 di Radar Bandung). Memutuskan berhenti menjadi wartawan setelah menempati posisi redaktur pelaksana di harian Radar Bandung dan memulai karier sebagai penulis sekaligus editor. Sebagai penyunting naskah, Tasaro pernah memegang amanat kepala editor di Salamadani Publishing.
Sebagai penulis, Tasaro telah menerbitkan buku berjudul Samita: Bintang Berpijar di Langit Majapahit (2004), Rumah Hati (2005), Bianglala Cinta Lima Jomblo (2005), Wandu: Berhentilah Menjadi Pengecut! (2005) Serambi Mekkah (2006), Kau Gila Maka Kucinta (2006), O, Achilles (2007), Bete After Merit (2007), Pitaloka (2007), Citra Rashmi: Konspirasi Putri Mahkota (2007), Inu Kencana for President (2008), Takhta Nirwana: Kisah Cinta Ratu Tanpa Mahkota (sekuel Pitaloka, 2009), Galaksi Kinanthi: Sekali Mencintai Sesudah itu Mati? (2009), Nibiru dan Ksatria Atlantis (2010), Muhammad: Lelaki Penggenggan Hujan (2010), Muhammad: Para Pengeja Hujan (2011), Rindu Purnama (ditulis bersama Ahmad Fuadi, 2011), Kinanthi: Terlahir Kembali (2012), Tetap Saja Kusebut Dia Cinta (2013), Keajaiban Rezeki, Sebuah Novel (2013), Sewindu (2013), Senyum Dahlan (2014), Aku Angin Engkaulah Samudra (2014), Muhammad: Sang Pewaris Hujan (2016), Muhammad: Generasi Penggema Hujan (2016), dan Patah Hati di Tanah Suci (2018).
Beberapa karya lain yang menjadi yang terbaik tingkat nasional antara lain: Wandu; novel terbaik FLP Award 2005, Mad Man Show; juara cerbung Femina 2006, Bubat (juara skenario Direktorat Film 2006), Kontes Kecantikan, Legalisasi Kemunafikan (penghargaan Menpora 2009), dan Galaksi Kinanthi (Karya Terpuji Anugerah Pena 2009). Cita-cita terbesarnya adalah menghabiskan waktu di rumah; menimang anak dan terus menulis buku. Tasaro kini juga aktif mengelola sebuah Pendidikan Anak Usia Dini di tempat tinggalnya, lereng Gunung Geulis, Sumedang, yang ia beri nama Kampoeng Boekoe.