Dan kebetulan, wong ndeso itu adalah juga saya, Djarwo. Tapi, memangnya siapa sih Djarwo itu? Apa hebatnya, dan apa perlunya dia harus diteladani dan di ru? Ti dak ada yang tahu siapa itu Djarwo kecuali keluarga dan teman yang sudah mengenalnya. Dia bukan tokoh publik yang masyhur, bukan selebri setenar Afghan, bu kan pula poli si sekelas Tifatul Sembiring, bukan budayawan seniman sehebat Sujiwo Tejo, ilmuwan secanggih Yohanes Surya ataupun ustadz dai sekondang Arifin Ilham.
Djarwo adalah saya. Lengkapnya, Sudjarwo Marsoem. Wong ndeso, orang dari desa, orang dari kampung, yang mendapat keberuntungannya di ibu kota—yang kata orang lebih kejam daripada ibu ri ini. Wong ndeso yang ingin berbagi ilmu dan pengalamannya, yang mungkin, dak hebat, dak wah, dan dak baru. Tidak dilirik juga dak apaapa. Lha wong buku ini memang bukan untuk dilirik, dinilai, lalu mendapat award kok. Tidak. Sekali lagi, apa yang saya lakukan hanya diniatkan untuk berbagi. Siapa tahu ada wong ndeso seper saya yang memerlukan buku semacam ini.
Buku ini muncul dari sebuah obrolan kecil ala wong ndeso bersama teman-teman ndeso saya, yang saya anggap sebagai adik-adik saya sendiri. Layaknya obrolan wong ndeso, di situ ada wedang sereh-jeruk yang spesial, camilan kacang telor yang renyah dan canda tawa. Di tengah obrolan kecil itu, ba ba terlontar celetukan dari salah satu adik saya, yang di satu sisi membuat saya tersanjung namun di sisi lain membebani pikiran saya. "Mas, sampeyan (Bahasa Jawa: Anda) ini, saya rasa termasuk orang yang bedjo (beruntung)!
"Kok bisa begitu? Apa alasannya?"
Yuk kita cari tau di buku ini. Selamat membaca.
Sudjarwo Marsoem, lahir pada 22 Januari 1960. Pengusaha lulusan Ins tut Pertanian Bogor (IPB) Angkatan 15 (1978) ini menjalankan bisnisnya dalam lingkungan Kogas Strategic Alliances (KSA).
Menggelu dunia bisnis mulai dari bawah, sejak usia muda, lelaki asal Kebumen ini, senang berorganisasi non poli k, pernah menjadi ketua OSIS sewaktu SMP di Banjarbaru, Kalimantan Selatan, dan SMA di Kebumen, sekretaris umum Senat Mahasiswa Fakultas Pertanian IPB dalam dua periode pada saat-saat terakhir Dewan Mahasiswa dulu. Saat ini pun, menginjak usia paro ba- ya, di Dewan Pengurus Nasional Ikatan Nasional Konsul- tan Indonesia (DPN-INKINDO), ia pernah menjadi ketua Bidang Penegakan E ka pada tahun 20022006, dan tahun 2006-2010 menjabat sebagai kepala Bagian Pen- didikan dan La han, wakil sekretaris jenderal, dan ang gota DPN INKINDO Komite Nasional Leadership and Management.
Ia juga dipercaya memegang kursi presiden direktur (2004-sekarang) di PT. Wadantra Nilaitama, Member Board of Management (BOM) Kogas Strategic Aliances (KSA) dan sebagai partner pada Kantor Jasa Penilai Publik (KJPP) Samsul Hadi, Wahyono Adi, Hendra Gunawan & Rekan.
Ia sering mengiku pela han terkait dengan profesinya sebagai konsultan atau pekerjaan di kantornya, dan per- nah dikirim ke Tsukuba, Tokyo dan Okinawa, Jepang, oleh pemerintah Republik Indonesia & JICA (Japan Inter- na onal Coopera on Agency) untuk mendalami tentang produk vitas dalam program pendidikan “Support for Small Medium Enterprises on Agroindustries” pada tahun 2000. Suami dari Setyowa “En e” Sudjarwo yang bekerja pada bank plat merah di Indonesia ini memiliki dua orang putra, yaitu Anjar S. Sudjarwo, alumni FHUI angkatan tahun 2003, sekarang bekerja sebagai legal o cer pada PT. Tugu Pratama Indonesia, dan Aryo D. Sudjarwo, S1 alumni Jurusan Teknik Sipil ITB angkatan tahun 2007, dan sekarang sebagai mahasiswa semester akhir S2 Jurusan Teknik Sipil ITB.
Buku “Urip Bedjo ala Wong Ndeso” ini merupakan buku kedua penulis. Buku pertamanya, tahun 2010, berjudul “Street Wisdom: Jelajah Prinsip Moving Forward in Balance and Harmony, dan Raih Kebahagiaan hidup Dunia- Akhirat”.