Hukum negara menjadi sangat sentralistik sementara badan-badan peradilan formal berkontribusi mengamankannya. Untuk dan atas nama Hak Guna Usaha yang diberikan kepada perkebunan-perkebunan negara, lahan-lahan yang sangat subur bagi tanaman tembakau diformat ulang secara periodik. Dengan dalih divestasi, landreform dan kerugian terus menerus yang dialami perkebunan, lahan-lahan itu beralih ke tangan-tangan pengusaha. Ini adalah erzat kapitalisme seperti yang dikatakan Yoshihara Kunio. Nasib hukum lokal persis seperti benalu tua yang tumbuh pada inangnya. Ini adalah paradoks: dari pemilik tanah menjadi pengemis di tanahnya sendiri, dari inang menjadi benalu. Nasib hutan/tanah reba dan orang Melayu yang hidup bertarung di atasnya persis seperti bidal Melayu: antan patah lesungpun hilang.
Di kalangan rakyat yang berjuang untuk dan atas nama masyarakat adat, hukum-hukum negara yang menolak eksistensi mereka jelas diabaikan, sebaliknya peraturan apa saja yang memberi peluang hidup bagi mereka mulai dari konvensi internasional perlindungan masyarakat asli sampai putusan pengadilan, akan menjadi sumber inspirasi perjuangan untuk bertahan hidup di lahan-lahan yang mereka kuasai. Hukum dalam terminologi apa saja akan direspon positif jika itu menguntungkan perjuangan bersama mereka. Begitu juga keberpihakan politik yang akan mengamankan penguasaan tanah. Corak ini tak mesti sejajar dengan cara mereka membangun hubungan secara internal di kelompoknya. Jargon komunalisme dan religiusitas hubungan rakyat dengan tanah hilang dihantam kebutuhan pragmatis dalam merespon kebutuhan tanah yang transaksional. Kualitas dan ciri-ciri hukum yang populis di tingkat makro berubah total menjadi kapitalistik di ranah mikro.
Tidak tersedia apa pun