Namun, bukankah sedih itu menunjukkan kelemahan? Apakah semua kesedihan dapat meningkatkan kedekatan kita kepada Allah? Kesedihan seperti apakah yang dianjurkan? Lalu, pernahkah Rasul Muhammad Saw. dan para sahabatnya bersedih? Apa yang mereka sedihkan?
Semua pertanyaan tersebut akan terjawab dalam buku ini, disertai dengan contoh-contoh kesedihan yang mengandung hikmah dan pelajaran yang dapat meningkatkan keimanan.Bersedihlah memberikan ruang untuk Anda berpikir bagaimana bersedih yang pantas dan membuat kita menjadi lebih baik dan bijaksana.
[Mizan Publishing, Mizania, Agama, Islam, Muslim, Indonesia]
Syafaat Selamet—nama pena dari Sopaat Rahmat Selamet—kelahiran kampung tua di kaki sebuah gunung di Garut pada 1974. Belajar budaya literasi selepas sekolah (1993-1996) secara autodidak dan mengikuti training menulis di Pers Mahasiswa Universitas Jenderal Ahmad Yani dan IKIP (kini UPI) Bandung. Dia menamatkan jenjang pendidikan di negeri: SD Negeri Andir (1981-1987), SMP Negeri 1 Garut (1987-1990), SMA Negeri 1 Garut (1990-1993), dan Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung (2000-2006). Menamatkan sekolah agama di Madrasah Ibtidaiyah Al-Istiqomah (1982-1987). Sempat mengambil program Jurnalistik STIKOM Bandung (1997-1998), tanpa meraih ijazah, juga Pascasarjana Konsentrasi Studi Masyarakat Islam (20072009), tanpa ijazah.
Dia menulis di sejumlah media cetak, seperti Suara Muhammadiyah, Anita Cemerlang, Pembina Pramuka, ADIL, HIMMAH, Suaka, Galura, Garuda, Kompas Jabar, Pikiran Rakyat, Tribun Jabar. Selain itu, dia suka melakukan penelitian secara freelance dan aktif dalam kegiatan organisasi sosial. Untuk mengembangkan kesukaan pada budaya literasi, pendidikan, dan dunia anak, dia kini membina anak-anak di kampung halamannya melalui pengelolaan Taman Baca Anak BINA INSANI sambil mengelola blog: http://www.biliksastra.