Tidak ada dendam yang dilahirkan oleh Hamka. Ia tetap menulis meskipun di dalam penjara. Ia menuntaskan tafsir Al-Azhar di dalam selnya. Dan, ketika ia bebas, ia sama sekali tidak merasa benci kepada Soekarno. Bahkan, pada kematian Soekarno, Hamka-lah yang menyalatinya.
Perjalanan yang menjadikannya penulis sekaligus Ulama’, dan lebih dari itu sebagai penjaga adat Minangkabau, telah menjadikan Hamka sebagai Hamka yang dikenal saat ini. Tulisan dan pemuikirannya abadi meskipun raganya telah mendekam di liang lahat.
Ia dikenal dengan banyak nama, Toge misalnya. Panggilan itu akrab disandangnya di Fakultas Ilmu Budaya, Sastra Indonesia, Universitas Gadjah Mada (UGM) terutama, semasa ia berkuliah dari tahun 2011 dan lulus di tahun 2015. Ia masih memiliki nama lain, yang terkesan feminin kata beberapa teman penulis finalis Belistra, Nafi Nayka. Nama itu cuma ia sandang sepanjang tahun 2012. Namun, ia sangat bersyukur dengan nama pemberian pamannya, yang disetujui Bapaknya, yakni Muhammad Hamdan Mukafi, yang dalam buku ini ia menyingkatnya dengan nama Emhaf.
Ia aktif dalam bidang teater dan penulisan sastra, baik dalam bentuk kritik dan karya. Ia pernah berkata, ”Aku tak ingin mati menyesal. Satusatunya cara adalah dengan mencatatkan nama di sejarah, menjadi teladan ketika hidup dan sesudah mati.” Ia sedang meneruskan kuliah S2-nya di Ilmu Sastra Universitas Gadjah Mada. Penulis ini bisa dihubungi dengan kode-kode sebagai berikut.
Email : dorr.dreamers@gmail.com
Id Line : m_hamdan_m
Kalau nomornya, katanya disuruh tanya sendiri via line atau email...