Buku berisi kumpulan tulisan yang sedang Anda baca ini, datang dari segala hal baik itu. Penulisnya, Marthunis Bukhari, mungkin khawatir, takut, merasa kehilangan atau kecewa akan banyak hal dalam menimbang berbagai isu pendidikan. Tetapi dari situlah ia membangun energi untuk merenung, menimbang dengan bijak dan mengumpulkan keberanian untuk menulis, bukan sekedar mengutuk ketidakberesan tanpa melakukan apa-apa. Dengan sendirinya, melalui tulisannya, ia sedang memupuk harapan. Karena ia tidak saja mencatat masa lalu dan menimbang masa kini semata, tetapi juga mencoba bercengkerama dan—mungkin—menakar peruntungannya untuk mengubah masa depan.
Tulisan-tulisan dalam buku ini jelas datang dari kegelisahan yang kemudian memantik banyak pertanyaan untuk dapat Marthunis jawab sendiri. Itikad dan ijtihadnya untuk membahas banyak persoalan muncul dari pertanyaan-pertanyaan yang jelas tak akan tuntas dijawab dalam semalam. Tetapi keberaniannya untuk merenungkan, menuliskan dan menyajikannya menjadi kumpulan pemikiran, perlu menjadi catatan. Isu pendidikan yang dibahas dalam buku ini berada dalam ranah ide dan diskusi yang luas namun nyata adanya. Sesuatu yang tidak mengherankan menimbang pengalaman penulisnya dalam mengelola dunia pendidikan; sebagai guru, pengasuh asrama dan pimpinan sekolah.
Jikapun rentang pendekatan penulis untuk melihat dunia pendidikan terkesan berpijak pada cara pandang yang “beragam” atau cakupan isu yang dipilih tidak melulu berkisar tentang pekerjaan utama penyelenggaraan pendidikan di dalam sekolah, hal ini justru membuktikan keluasan pertanyaan, sekaligus pisau analisis masuk akal yang dipakainya untuk menaklukkan kegelisahan atas isu-isu pendidikan yang terjadi.
Dalam satu bagian, tampak ketertarikan, pemahaman (dan pencarian) penulis atas teori System Thinking (Peter Senge) yang menjadi basis pemikiran dan pengelolaan pendidikan di Sekolah Sukma Bangsa Aceh. Terma-terma “kolektivitas daripada individu”, “pemain tim”, “saling ketergantungan”, “komunitas pembelajar”, atau “struktur yang mempengaruhi perilaku” menjadi kata kunci dalam beberapa tulisan; “Membangun Komunitas Belajar” atau “Filsafat Pendidikan Sukma”. Beberapa terma tersebut juga dipakai untuk menegaskan tujuan mulia dan sesungguhnya dari pendidikan; “untuk memanusiakan manusia” seperti tampak dalam tulisan “Mendidik Anak Udik”, “Pendidikan untuk Kemanusiaan” atau persoalan keadilan dan kesetaraan akses untuk belajar seperti tampak dalam “Sekolah Unggulan dan Disparitas dalam Pendidikan”. Sementara upaya membangun sekolah sebagai lingkungan belajar yang positif, tempat yang menyemai budaya tanpa kekerasan dan perisakkan (no-violence, no-bulyying), tanpa kecurangan (no-cheating), tanpa kebiasaan-kebiasaan buruk (no-smoking, no-littering) tampak pada tulisan “Pendidikan Karakter Berbasis Boarding School” dan “Membangun Pendidikan Berintegritas”.
Marthunis juga menunjukkan dirinya sebagai pembelajar yang baik saat ia mencatat dan menyajikan kekagumannya akan sistem pendidikan dari negara yang dianggap memiliki sistem pendidikan terbaik di dunia: Finlandia. Sebagai alumni University of Tampere, ia menyajikan beberapa hal yang dapat dipelajari dari Finlandia seperti; pendidikan berbasis riset (“Indonesia dan Budaya Riset”), otonomi siswa, guru dan sekolah, pentingnya membangun kepercayaan di antara pelaku dan pemangku kebijakan pendidikan atau cara memperkuat pendidikan melalui pengembangan kapasitas guru. Tulisan “Menguji Mimpi: Menjemput Aurora di Langit Finlandia” dan “Membangun Pendidikan ala Finlandia” mewakili ide ini.
Komitmen, kerja keras dan keinginan untuk belajar terus-menerus dipercaya penulis sebagai hal yang menginspirasi dan menjadi sebuah perilaku yang harus dimiliki seorang pendidik. Pemikiran ini diwakili oleh tulisan “Pahlawan Pendidikan”, “Sebuah Metamorfosis: The Magnificent Eleven”.
Buku ini juga memberikan perhatian khusus atas beberapa isu faktual dunia pendidikan di Indonesia. Beberapa diantaranya adalah mengenai berbagai praktik kekerasan dalam pendidikan (“Guru Budi: Pelajaran Bagi Pendidikan Indonesia”), maraknya intoleransi, perlunya sikap dan pikiran yang terbuka atas perbedaan (open mindedness) (“Piknik dan Keberagaman”), pentingnya melek media sosial di zaman yang serba berubah cepat (“Urgensi Literasi Media Sosial Melalui Kurikulum”), juga catatan akan diplomasi pendidikan bagi anak-anak yang berasal dari Mindanao, Filipina Selatan (“Diplomasi Pendidikan”). Termasuk di dalamnya tiga “catatan perjalanan” yang melekat dalam benak penulis tentang berharganya sebah proses perdamaian dalam “Smolna, Saksi Bisu Bagi Perdamaian Aceh”), dan indahnya toleransi terhadap mereka yang minoritas “Belajar Dari Keberagaman”, dan “Ramahnya Finlandia Terhadap Muslim”.
Kumpulan tulisan dalam buku ini, semestinya bisa memancing mereka yang berkecimpung dalam dunia pendidikan untuk turut memikirkan berbagai persoalan yang ada. Setidaknya, mendorong keberanian untuk mempertanyakan, merenungkan dan menuliskan segala kegelisahan dalam berbagai isu pendidikan. Bukan saja karena buku ini ditulis oleh pelaku pendidikan, tetapi juga menimbang perlunya perhatian, komitmen dan aksi bersama untuk menjamin pendidikan yang lebih baik di masa depan.
Sebagai sebuah kumpulan tulisan, buku ini telah menunjukkan beragam dan kompleksnya berbagai persoalan dalam pengelolaan pendidikan. Sebagai perenungan atas pertanyaan yang mengusik dalam pendidikan kumpulan tulisan dalam buku ini semestinya bisa memancing lahirnya pertanyaan-pertanyaan dan diskusi-diskusi baru tentang pendidikan. Terlebih karena buku ini merekam berbagai persoalan pendidikan yang pernah maupun yang sedang terjadi di masa kini. Sebagai sebuah laku ijtihad, menuliskan ide-ide/isu pendidikan menjadikan buku ini melampaui apa yang dinyatakan Anaïs Nin; karena ide-ide dalam buku adalah pemantik harapan akan pendidikan yang lebih baik di masa mendatang. Laku yang menunjukkan kapasitas dan keberanian bertindak untuk menentukan masa depan pendidikan di Aceh dan Indonesia.
Marthunis Bukhari M.A. lahir pada 6 September 1989 di Peudada, Bireuen, Aceh, sebagai anak pertama pasangan Bukhari Abakar dan Idaryani Ismail. Setelah menempuh pendidikan formal di SDN 1 Bireuen (2002), Pesantren Modern Misbahul Ulum (PMMU) Paloh, Lhokseumawe untuk jenjang SMP (2004) dan SMA (2007), ia kemudian melanjutkan pendidikan tingginya di Jurusan Tadris English (TEN) yang kini telah berganti nama menjadi Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris (PBI) setelah bergantinya status IAIN menjadi UIN Ar-Raniry Banda Aceh. Menamatkan studinya pada 2011, Marthunis menjadi sarjana dengan predikat cumlaude dan merupakan lulusan terbaik ke-3 universitas pada saat itu.
Selain Bahasa Inggris, kegemarannya membaca dan menulis telah tumbuh sejak di bangku kuliah. Ia pernah menjuarai Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ) Cabang Menulis Ilmiah Al-Quran (M2IQ) kabupaten Aceh Besar tahun 2010, menjadi juara II pada ajang yang sama di tingkat provinsi Aceh pada 2011, dan menjadi salah satu bagian dari duta kafilah Aceh yang berlaga dalam MTQ Nasional di kota Ambon pada 2012.
Kemampuan menulisnya juga semakin terasah sejak bergabung menjadi guru Sekolah Sukma Bangsa Pidie, Aceh pada pertengahan 2012. Hal ini terbukti dari beberapa tulisannya yang tembus media lokal (Serambi Indonesia) maupun nasional (Media Indonesia) yang kemudian dirangkumkan dalam buku ini. Sekolah Sukma Bangsa (SSB) telah membawanya pada level kualitas yang berbeda dari sebelumnya, khususnya dalam menulis.
Bertemu dan berdialog dengan banyak guru-guru hebat SSB, dan para konsultan Yayasan Sukma yang notebenya adalah orang-orang yang produktif menulis dan banyak menghasilkan karya di level nasional bahkan internasional, telah mengantarkannya untuk cukup kritis dan produktif menghasilkan karya tulis seputar isu-isu pendidikan.
Setelah menamatkan studi S2 hasil jalinan kerja sama Yayasan Sukma-Finland University—University of Tampere, Finlandia pada 2017 silam, kini ia dipercaya sebagai Direktur Sekolah Sukma Bangsa Pidie, Aceh. Saat ini ia juga aktif dalam komunitas Forum Aceh Menulis (FAMe) Chapter Pidie Raya.