Dalam berbagai kesempatan telah disampaikan bahwa korupsi tidak disebabkan oleh sebab tunggal, misalnya gaji kecil atau karena kemelaratan, akan tetapi oleh berbagai sebab, yaitu jeleknya berbagai sistem yang dilaksanakan di Indonesia. Misalnya: a) sistem hukum, pembangunan hukum sangat sektoral yang justru memberikan peluang praktik mafia peradilan; b) sistem politik, lebih menonjolkan politik praktis yang lebih mengutamakan upaya memperoleh kekuasaan; c) sistem administrasi kepegawaian, yang masih bernuansa kolusi dan nepotisme dalam rekruitmen dan penempatan pegawai; d) sistem sosial, yang tidak dapat membedakan hak milik pribadi dan publik sehingga banyak aset publik digunakan untuk kepentingan pribadi, termasuk tidak dikenalnya konsep benturan kepentingan (conflict of interest) sehingga terjadi berbagai rangkap jabatan di sektor publik; e) sistem pengawasan, tiadanya sistem pengawasan yang memadai dan hampir tiada sanksi terhadap para pelanggar. Berbagai kondisi tersebut diperparah oleh berkembangnya budaya feodalisme terutama di lingkungan birokrasi yang pada hakikatnya pemborosan dana publik dan mengurangi efisiensi kinerja.
Kendati begitu, seperti telah diuraikan di atas, sekadar upaya penciptaan regulasi dan penegakan hukum tentu tak cukup untuk membabat habis korupsi. Perlu perubahan paradigma para aparat negara, dalam penyelenggaran pemerintahan maupun birokrasi. Harus diciptakan demarkasi, yang memberikan batasan tegas antara birokrasi patrimonialistik masa lalu yang korup, dengan birokrasi rasional yang bebas korupsi. Pengalaman dari berbagai negara yang berhasil memberantas korupsi, seperti Malaysia, Singapura, dan Korea, dapat disimpulkan bahwa memberantas korupsi perlu ada komitmen kuat khususnya untuk mengubah nilai-nilai sosial yang telah menyimpang. Pemberantasan korupsi tidak dapat dilakukan dengan pendekatan legal semata, tetapi harus dilakukan melalui berbagai pendekatan, seperti pendidikan dan sosiologi.
Lahir di Trenggalek Provinsi Jawa Timur. Bersekolah di SD serta SMPN Trenggalek kemudian penulis melanjutkan ke Sekolah Pendidikan Guru (SPG) serta kemudian diteruskan sampai menempuh kuliah Sarjana Muda di IKIP Surabaya. S1 Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia ditempuh di IKIP Malang, kemudian berlanjut lagi di Jurusan Ilmu Hukum. Penulis yang saat ini masih menjabat sebagai Ketua yayasan I sebuah Perguruan Tinggi di Gresik ini masih menyempatkan diri melanjutkan kuliah lagi ke jenjang S2 Jurusan Magister Administrasi Untag Surabaya dan terakhir penulis baru saja menyelesaikan kuliah Pascasarjana S3 Jurusan Ilmu Administrasi juga di Untag Surabaya.
Penulis telah menghasilkan beberapa buku dan telah mendapat Hak Kekayaan Intelektual sejak tahun 2018. Selain buku Reformasi Kepemimpinan, penulis juga pernah menulis buku-buku karya ilmiah lain di antaranya berjudul: Bahasa Indonesia untuk SMP (Buku Pelajaran Sekolah), Mari Menulis Skripsi, Buku Manajemen Pelayanan Publik, Pengaruh Politik terhadap Birokrasi, Kepemimpinan Pendidikan, Psikologi Pendidikan, dan yang terakhir adalah Pendidikan Karakter, disamping itu juga aktif dalam penulisan jurnal-jurnal kampus. Pengalaman pekerjaan penulis dimulai dari menjadi Guru SD, Kepala Sekolah SD, Pengawas SD, Kakandep, Dikbudcam, Kepala Seksi Pendidikan Dasar dan kemudian meningkat menjabat Kakandeb Dikbud Kabupaten Mojokerto, Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan, Ketua Yayasan Pendidikan MKGR “Usman Sadar” Gresik, Ketua I Yayasan Induk Walisongo Jatim, Yayasan Pendidikan Delima Husada Gresik, Pembina Lembaga Bantuan Hukum UNIGRES, dan pengukuhan sebagai Guru Besar pada Tahun 2010 dengan orasi ilmiah berjudul “Kepemimpinan Pendidikan Indonesia Dalam Kancah Perdagangan Bebas Antar Kawasan: Suatu Dilema”. Saat
ini penulis juga masih aktif menjadi Ketua Pembina Barisan Indonesia (BAIRINDO) Gresik dan Dewan Pakar PERADI Gresik.