Atau, jika ada perbedaan perspektif medis dan teologis—yang predeterministik, akibat kesalahpahaman terhadap aliran-aliran teologi tertentu—pemahaman teologislah yang dimenangkan.
Ini semacam sekularisme dari sisi lain. Kalau biasanya sekularis melarang agama turut campur dalam persoalan dunia, sekarang persoalan dunia dilarang ikut campur dalam (apa yang mereka lihat sebagai) persoalan yang (sudah diputuskan) oleh agama. Jika dalam kasus sebelumnya, kewajiban keagamaan dimenangkan atas sains kedokteran, di sini prinsip kausalitas sains (kedokteran) dikalahkan oleh teologi.
Umumnya Muslim percaya kepada sains kedokteran. Tapi sikap umumnya adalah, sejajar dengan itu, mereka percaya bahwa semua usaha atau ikhtiar itu perlu dibarengi doa. Mereka percaya bahwa, betapa pun kausalitas yang mencirikan sains itu nyata, doa bisa mengubahnya, doa punya peran dalam membelokkan arah kerja kausalitas. (lihat artikel yang berjudul “Doa Menggerakkan Alam Ruhani, Mengubah Takdir”). Dalam teologi Asy’ari, atau dalam tasawuf, bahkan dalam Syiah—yang dikenal dengan prinsip al-amr bayn al-amrayn (posisi pertengahan di antara dua posisi, yakni antara Jabariyah dan Qadariyah/Mu’tazilah)—kausalitas tidak dinihilkan, melainkan dihadapkan pada kemungkinan campur tangan Allah dalam memberi atau tidak memberi izin terhadap termaterialisasikannya prinsip kausalitas itu. Dalam Asy’ariyah, melalui kasb Ilahi; dalam tasawuf, melalui tajalliy Ilahi yang tak pernah berhenti; dan dalam Syiah melalui karsa Allah yang tak pernah tak beroperasi.
Nah, kembali kepada kemungkinan adanya konflik antara agama dan sains, dalam konteks wabah ini, menurut saya akarnya bukanlah pada penolakan terhadap sains, melainkan lebih akibat fenomena pengerasan identitas. Tentu bukan ranah tulisan ini untuk membahas sebab-sebab terjadinya pengerasan identitas—namun cukup untuk dikatakan di sini bahwa pengerasan identitas telah mendorong sebagian umat beragama untuk memenangkan agama atas sains—khususnya dalam hal terjadi konflik antara penyelenggaraan kewajiban keagamaan dan protokol kesehatan modern. Apalagi mengingat bahwa sains modern biasa diasosiasikan dengan hasil-hasil penemuan Barat-Kristen. Di luar masalah ini, saya berani menyatakan bahwa konflik agama dan sains, khususnya di kalangan Muslim, sama sekali bukanlah suatu fenomena yang menonjol. Kenyataannya, anjuran untuk berobat bahkan sudah dinyatakan oleh Nabi sendiri dalam hadis dan Sunnah beliau saw. Bahkan suatu disiplin ilmu kedokteran—yang biasa disebut sebagai “kedokteran Nabi” (al-thibb al-nabawi) sudah dikenal di sepanjang sejarah Islam. Bahkan tak kurang dari seorang Imam mazhab fiqh, yang dia sendiri adalah seorang ‘abid (ahli ibadah) seperti Imam Syafi’i, lebih dari sekali menyatakan keutamaan ilmu kedokteran. Bahkan, dalam salah satu pernyataannya, beliau menyatakan bahwa, setelah ilmu (fiqh) tentang yang halal dan haram, kedokteran adalah ilmu yang paling utama.
Maka, kalau saja tak ada apa yang dipersepsi sebagai konflik sosial-politik, khususnya antara Muslim dan Barat-Kristen, saya berani menyatakan bahwa nyaris tak ada konflik antara agama dan sains di dunia Islam di sepanjang sejarahnya. Selebihnya, Muslim diajar untuk selalu memadukan antara usaha/ikhtiar dan doa lalu, senyampang itu, berupaya menggali sebanyak-banyak hikmah dari setiap musibah. Bahkan kalau itu menyangkut penderitaan (sakit sampai pun kematian).
Haidar Bagir lahir di Surakarta, 20 Februari 1957. Dia meraih S-1 dari Jurusan Teknologi Industri ITB (1982); S-2 dari Pusat Studi Timur Tengah, Harvard University, AS (1992); dan S-3 dari Jurusan Filsafat Universitas Indonesia (UI) dengan riset selama setahun (2000-2001) di Departemen Sejarah dan Filsafat Sains, Indiana University, Bloomington, AS. Nama penerima tiga beasiswa Fullbright ini selama beberapa tahun berturut-turut masuk di dalam daftar 500 Most In_uential Muslims (The Royal Islamic Strategic Studies Centre, 2011). Selain sibuk mengurus yayasan pendidikan dan sosial dan menjadi presiden direktur sebuah rumah penerbitan, dia telah menulis beberapa buku di antaranya: Buku Saku Tasawuf; Buku Saku Filsafat Islam; Buat Apa Shalat?!; Surga di Dunia, Surga di Akhirat; Era Baru Manajemen Etis; Islam Risalah Cinta dan Kebahagiaan (telah diterjemahkan dan diterbitkan di Inggris dengan judul Islam: The Faith of Love and Happiness); Belajar Hidup dari Rumi, dan Mereguk Cinta Rumi, Semesta Cinta: Pengantar kepada Pemikiran Ibn 'Arabi. Dia juga masih aktif memberikan ceramah keagamaan dan menjadi pembicara di sejumlah seminar keilmuan. Selain itu, dia menjabat International Board Member of Compassionate Action International dan Pendiri Gerakan Islam Cinta, serta menjadi dosen di ICAS dan STFI Sadra, Jakarta.