Meski tidak dipungkiri, penafsiran terhafap konstitusi berkembang dan menguat seiring kebutuhan akan referensi dalam praktik penyelenggaraan negara. Namun, kontekstualisasi tidak selalu bermakna dekonstruksi. Ada keterhubungan nilai antara realitas dan nilai yang di tawarkan konstitusi.
Konstitusi menjadi bebas tafsir ketika muatan kepentingan politik lebih dominan. Keinginan dari zaman ke zaman untuk menafsir konstitusi sesuai kepentingan politiknya terbukti mengantarkan negeri ini pada ambang kehancuran.
Jelas konstitusi bukan mainan, yang dapat ditafsirkan relatif, sesuai hazard penguasa.
Lebih lanjut, sebagian besar nilai-nilai universalitas dalam UUD 1945 ternyata telah akrsb dengan syariat islam.
Secara formal-legalistik, Dekrit Presiden 1959 melegitimasi. Dekrit mengehendaki esensi piagam Jakarta yang akan tetap dijadikan dasar dalam menyusun peraturan perundang undangan.