Penulis buku ini merupakan seorang yang sangat aktif dalam pergerakan kemerdekaan di Mesir Kala itu. Dirinya terlibat secara langsung dalam revolusi Mesir tahun 1952. Keterlibatannya itu justru memperdalam pemikirannya mengenai sistem perpolitikan baik nasional maupun global. Pemikiran tersebut kemudian ia tuangkan dalam beragam buku, termasuk ke dalam buku ini.
Sumbangan dari Ideologi Qutbisme untuk perkembangan pemikiran Islam sangat besar, maka penting bagi yang terlibat secara langsung dalam pergerakan atau perpolitikan untuk mengkajinya. Utamanya agar mendapat gambaran jelas mengenai akar gerakan radikalisme global. Quthb memang sangat kritis terhadap ketidakadilan, baik dari dalam maupun luas Islam. Namun, jika tak berhati-hati mempelajari pemikirannya, justru akan berakibat fatal. Radikalisme tetap tak dapat dibenarkan, dengan alasan atau ideologi apapun. Selamat membaca.
Sayyid Quthb Ibrahim Husayn Shadili (Musha, 9 Oktober 1906—Kairo, 29 Agustus 1966) atau sering disebut Sayyid Quthb adalah seorang penulis, pendidik, ulama, penyair, dan pemikir asal Me- sir yang giat dalam menyuarakan keadilan. Ia tercatat sebagai anggota Ikhwanul Muslimin era 1950—1960-an. Di umurnya yang ke-59 tahun, ia dieksekusi oleh rekan seperjuangannya, Gamal
Abdel Nasser akibat selisih paham politik. Sederet nama-nama besar seperti Maulana Mawdudi, Hasan al-Banna, dan Ruhollah Khomeini dianggap sejajar dengan Sayyid Quthb dalam membawa gagasan- gagasan baru dunia Islam. Ketenarannya itu bukan hanya dari karya-karya besar yang telah dibuat, tetapi juga karena dirinya mati sebagai korban perpolitikan.
Gagasan-gagasan Sayyid adalah gabungan antara yang klasik dan modern. Daniel Benjamin dan Steve Simon menyatakan bahwa Sayyid Quthb menggabungkan elemen inti dari gagasan-gagasan islamisme modern. Memadukan ajaran Ibnu Taimiyah, sala sme- nya Rashid Rida, konsep jahiliahnya Maududi, dan pandangan politiknya Hasan al-Banna. Gagasannya itu tertuang dalam buku Ma’alim ath- ariq (Rambu-Rambu Perjalanan).
Gagasan yang digulirkan Sayyid meluas hingga ke persoalan westernisasi, moderni- sasi, teori reformasi politik, pertentangan kon ik ideologi Islam vs Barat hingga aplikasi jihad. Sementara teori advokasi Islam dan keadilan sosial menjadi landasan pergerakan Ikhwanul Muslimin.
Sekurangnya, terdapat 24 judul buku yang telah berhasil ia terbitkan. Mulai dari buku bertema agama, sastra, pemikiran, sampai pendidikan. Sayyid merupakan penulis yang amat produktif. Buku-bukunya banyak diterjemahkan ke bahasa asing. Kajian mengenai pemikiran-pemikirannya terus diperbincangkan hingga kini.
Pendidikan
Pada tahun 1929 Sayyid berpindah ke Kairo untuk melanjutkan pendidikannya. Sebelumnya, ia hanya tinggal di Musha, sebuah kampung kecil, berjarak 400 km dari arah Selatan Kairo. Kota itu menjadi tempat untuk mendalami sastra. Satu novel berjudul Ashwak (Duri-Duri) berhasil ia tulis pada masa awal belajar di kampus Darul Ulum. Selain aktif sebagai penulis sastra, ia juga seorang kritikus sastra yang diperhitungkan saat itu.
Di akhir masa kuliahnya—saat berusia 24 tahun—ia menulis buku berjudul Muhimmat asy-Syâ’ir al-Hayâ (Peran Penting Puisi dalam Kehidupan). Buku ini membahas kedudukan puisi dan persoalan sastra era itu. Dirinya banyak dipengaruhi oleh sastrawan bernama Abdul Qahir al-Jurjani (w. 1078 M).
Dari tahun 1948 hingga 1950, ia mendapatkan beasiswa ke Amerika, tepatnya di Colorado State Collage of Education (kini bernama University of Northern Colorado) di Greely, Colorado. Pada saat itulah buku berjudul al-’Adâlah al-Ijtimaiyyah al-Islâm (Keadilan Sosial dalam Islam) terbit. Buku ini secara garis besar mengulas tentang konsep keadilan dalam Islam.
Sayyid menghabiskan dua tahun masa studinya di Amerika mengambil jurusan Administrasi Pendidikan. Sambil belajar, ia juga merangkap sebagai pengajar di kampus yang sama. Waktu yang singkat itu ia manfa- atkan untuk mengenal lebih dalam kehidupan orang Amerika.
Berbeda dengan gaya pemikirannya yang dianggap konservatif, kehidupan pribadi- nya justru sangat modern. Mulai dari cara berpakaian serta kecintaannya pada musik klasik dan lm- lm Hollywood. Bacaannya pun beragam, mulai dari karya-karya Darwin, Einstein, Byron, hingga Shelley. Ia bahkan sa- ngat menggemari sastra Prancis, khususnya karya Victor Hugo.
Usai dari Amerika, ia kembali ke Mesir. Ia menulis buku berjudul e America at I Have Seen (Amerika yang Saya Lihat). Kritik- kritiknya yang pedas terhadap Amerika dituangkan dalam buku tersebut. Ia mengatakan, secara umum Amerika adalah negara yang materialis, individualis, rasis, penggemar olah raga brutal (tinju), orang-orangnya memiliki gaya rambut yang buruk, banyak basi-basi, gemar bercerai, gila pertandingan, rendah dalam berkesenian, dan lain-lain.
Setelah itu ia bergabung dengan Ikhwanul Muslimin. Bakat menulisnya membuat dirinya diangkat menjadi pemimpin redaksi di majalah kelompok tersebut. Majalah ini menjadi corong yang efektif bagi Sayyid dan kelompoknya dalam menyebarkan ideologi politik. Di situ pula ia untuk pertama kalinya menulis serial tafsir al-Quran yang kelak menjadi buku berjilid bernama Fi Zhilal al- Qur`an (Di Bawah Naungan al-Quran).
Gamal Abdel Nasser dan Kematian Sayyid Quthb
Pada Juli 1952, kelompok nasionalis yang dipimpin oleh Gamal Abdel Nasser berhasil menggulingkan pemerintah monarki saat itu. Semula Sayyid Quthb dan Ikhwanul Muslimin menyambut baik rencana Nasser.
Kedua belah pihak sepakat bahwa Mesir telah jauh dari nilai-nilai Islam dan semakin pro kepada imperialisme Inggris. Hal itu membuat berang kaum nasionalis dan konservatif.
Hubungan Nasser dan Sayyid menjadi sangat dekat kala itu. Keduanya rajin mendiskusikan rencana-rencana ke depan untuk Mesir. Sayyid—sebagai representasi Ikhwanul Muslimin—menginginkan Mesir menjadi ne- gara penganut sistem Islam. Kesempatan itu tentu menjadi peluang emas baginya.
Sayyid sudah merencanakan beragam program dengan harapan saat Nasser me- mimpin kelak, impiannya untuk menjadikan Mesir sebagai negara Islam terwujud. Kondisi politik berkata lain. Sayyid tidak menyadari bahwa Nasser mempunyai rencana lain.
Usai penggulingan, Nasser semakin menjauh. Sayyid menyadari dirinya sedang dimanfaatkan. Ia memutuskan berpisah dengan Nasser. Nasser tidak tinggal diam. Beragam upaya dilakukan. Ia membujuk Sayyid untuk tetap bersamanya. Bahkan Sayyid akan diberi posisi apa saja di pemerintahan. Sayyid menolak. Baginya, langkah Nasser semakin memuakkan. Terlebih Nasser menolak Islam sebagai ideologi negara.
Pada 1954 Sayyid dan kelompoknya berencana membunuh Nasser. Sayangnya, rencana itu tercium. Sayyid pun ditangkap dan dijebloskan ke bui. Peristiwa itu dimanfaatkan Nasser untuk memojokkan citra Ikhwanul Muslimin di mata publik sebagai oposisi yang telah merongrong pemerintahan. Sementara itu, dari balik jeruji, Sayyid diizinkan menulis kembali setelah mengalami penyiksaan yang amat sangat selama tiga tahun.
Semangat perlawanannya semakin ber- kobar. Jeruji penjara justru membuat Sayyid semakin produktif menuangkan kekecewaannya lewat buku. Tafsir Fi Zhilal al-Qur`an dan Ma’alim ath- ariq berhasil ia selesaikan. Kedua buku ini menjadi pamungkas karier kepenulisan Sayyid Quthb. Berisi gagasan antisekuler dan anti-Barat yang amat radikal. Kedua buku itu diakuinya berlandaskan pada al-Quran, sejarah Islam, dan persoalan sosial politik di Mesir. Pemikiran ini kelak dikenal menjadi qutbisme, atau aliran pemikiran Sayyid Quthb.
Pada akhir tahun 1964, Sayyid dibebaskan dari penjara atas rekomendasi dari Perdana Menteri Iraq, Abdul Salam Arif—Berjarak delapan bulan sebelum ia dipenjarakan kembali pada Agustus 1965. Sayyid kembali dituduh merencanakan penggulingan pemerintah. Tuduhan itu berdasarkan pada tulisannya dalam buku Ma’alim ath- ariq.
Tuduhan kepada Sayyid menjadi berlapis setelah ia dituduh merencanakan pembunuhan kepada Nasser dan beberapa pejabat pemerintah lain. Pada tanggal 29 Agustus 1966—di usianya yang ke-59—Sayyid Quthb dijatuhi hukuman mati dengan cara digantung bersama enam rekannya.