Persebaran makanan nasional ke mancanegara tidak dapat dipisahkan dari peran para diaspora sebuah bangsa. Diaspora bangsa-bangsa Asia seperti Tiongkok, India, Jepang, Korea Selatan, dan Thailand di berbagai negara dalam perjalanan sejarahnya turut meninggalkan jejak-jejak makanan nasional mereka melalui jaringan mereka di luar negeri. Bagaimana dengan sejarah awal diaspora Indonesia yang berperan dalam memperkenalkan makanan tanah air ke publik di mancanegara? Buku ini mengulas awal pengenalan dan penerimaan makanan Indonesia oleh publik di Prancis, Suriname, dan Belanda yang berlangsung sejak akhir abad ke-19 hingga dekade 1940-an. Banyak fakta menarik untuk diketahui di sepanjang perjalanan itu. Penyajian kuliner Jawa seperti nasi, sate, kari, dan gurami di Exposition Universelle Paris 1889 ternyata pernah ditangani oleh seorang juru masak kenamaan Prancis dari restoran La Maison Chevet. Seorang peneliti pangan Amerika Serikat berhasil mempelajari teknik membuat tempe dari Sinem, seorang perempuan Jawa di Suriname. Ada pula kisah Oesin dan Saiman, dua orang diaspora Hindia yang merupakan pengusaha Hindia pertama yang memiliki bisnis Indische restaurant di Belanda. Melalui cerita stan kuliner Jawa di Exposition Universelle 1889 di Paris, warung-warung di Suriname yang didirikan oleh para buruh migran Jawa yang berdatangan sejak 1890 hingga 1932, serta restoran-restoran Hindia (Indische restaurant) di Belanda yang jumlahnya berkembang sejak akhir abad ke-19 hingga 1940-an, kita bisa merefleksikan bahwa pengenalan makanan Indonesia di mancanegara pada masa itu bukanlah semata soal bisnis untuk meraup laba. Ini adalah tentang bagaimana makanan menjadi sebuah sarana untuk menjaga ikatan emosional para diaspora Indonesia terhadap tanah air mereka, melahirkan benih-benih identitas kebangsaan yang terus tumbuh dan terpatri dalam jiwa mereka. Sekalipun jauh di pelupuk mata, tanah air akan selalu terasa di lidah.
Cocina, gastronomía y vinos