Al-Rawd al-’Athir fi’ Nuzhat al-Khathir, karangan Syaikh al Imam al-Allamah al-Humam Sayiddi Muhammad al Nafzawi, Diperkirakan buku ini ditulis pada awal abad 16 Masehi atau sekitar tahun 925 Hijrah Pengarang buku ini lahir di Nafzawi suatu tempat yang berada di pinggir Danau Sebkha Melrir, Tunisia. Ia dikenal sebagai ulama yang menguasai fiqih dan hadist serta ilmu pengobatan Beliau menulis buku ini setelah melakukan riset mendalam tentang hubungan antara laki-laki dan perempuan, untuk menjelaskan prinsip-prinsip apa saja yang dapat membahagiakan laki-laki dan perempuan, berdasarkan karakter, temperamen, dan kesehatannya.
Buku bukanlah 100% karya orisinal Syaikh al Nafzawi, beliau banyak mengkompulasi dari sumber-sumber lain, seperti hikayat Arab dan juga dari karya tulis India. Bukunya bisa dikatakan sangat lengkap membahas berbagai hal tentang seks, seni bercinta dan juga tentang pengobatan yang berkaitan dengannya, dan juga beberapa
hikayat serta anekdot. Tidak diragukan Syaikh al Nafzawi pada bukunya ini dia bukan hanya sekedar sex therapyst, tetapi juga memiliki pengetahuan anatomi manusia yang mendalam dan menguasai ilmu kedokteran, serta pengetahuan agama yang mendalam.
Buku ini terdiri dari 20 Bab. Dimulai dengan pembahasan tentang Laki-laki dan Perempuan, kemudian adab berjima yang berisi penjelasan tentang foreplay, selanjutnya dibahas tentang gaya dan posisi berjima yang terdiri dari 11 cara berjima dan 25 gaya berjima, dibahas juga gerakan jima, bab selanjutnya tentang kehamilan,dan pengobatan.
Pada tahun 1850 buku tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa Perancis oleh pegawai kolonialis Perancis di Tunisia. Buku tersebut menimbulkan kehebohan, terutama kalangan gereja. Pada saat itu masyarakat Eropa dan khususnya gereja, memandang seks sebagai sesuatu yang kotor dan dosa (sex is a sin), dan tabu membicarakannya. Karenanya fihak gereja menetapkan posisi seks suami istri hanya boleh dilakukan dengan gaya misionary position dan harus dilakukan secepat mungkin.
Berbeda dengan pandangan islam, seks bukanlah sesuatu yang kotor, tetapi suci dan bahkan bernilai ibadah,dengan syarat dilakukan oleh suami istri yang sah telah menikah.
Membicarakan seks bukanlah hal yang tabu dalam islam. Ada beberapa hadis-hadis dan pendapat para ulama yang berisi panduan dari Rasulullah SAW , para sahabat dan para ulama tentang hubungan suami istri. Berikut ini beberapa di antaranya. Ada hadis yang menjelaskan bahwa dalam hubungan suami istri hendaknya dilakukan dengan pendahuluan terlebih dahulu, atau dalam bahasa sekarang istilahnya adalah ‘foreplay’.
Sabda Rasulullah SAW:
“Janganlah antara kamu melakukan hubungan badan dengan isterinya seperti binatang. Sebaiknya mereka melakukan dua perkara terlebih dulu.” Sahabat bertanya, apa dua perkara itu? Rasulullah menjawab “kecupan dan kata-kata mesra” (Hadis riwayat Dailami).
Dalam hadis tersebut nampak bahwa ada hal tentang seks yang tidak difahami oleh sahabat, sehingga kemudian mereka bertanya lalu Rasulullah SAW menjelaskan. Dari hadis ini dapat diambil pelajaran bahwa menjadi tanggung jawab bagi seorang pemimpin dan guru untuk menerangkan sesuatu yang kurang difahami dalam soal hubungan kelamin / seks, dan hal ini bukanlah sesuatu yang memalukan.
Di dunia pesantren sex education diajarkan dalam bentuk nadzham (syair yang dilagukan), dan Nadzham yang populer di dunia pesantren adalah Nazham Qurotul Uyun, karangan Ibnu Yamun.